“Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat”
(HR. Bukhari)
(HR. Bukhari)
Sebuah hadis yang patut kita telisik lebih dalam bagaimana makna yang terkandung didalamnya, supaya menjadi ibrah bagi kita umat islam yang mengakui bahwa nabi Muhammad adalah suri tauladan kita.
Nabi Muhammad memberikan pengajaran kepada umatnya untuk menjadi seorang asing ketika di dunia yang penuh dengan gegap gempita kenikmatan semu. Nabi tahu benar bagaimana sifat manusia yang cenderung untuk memuaskan seluruh hawa nafsunya baik dengan cara yang halal maupun haram. Makanya sedari awal nabi memberikan early warning kepada umatnya untuk menjadi seorang perantau di dunia supaya terbebas dari bahaya sifat “wahn”, yaitu cinta dunia dan takut mati.
Seseorang yang cinta dunia pastilah akan takut pada kematian karena menganggap bahwa kematian adalah gerbang pemisah antara dia dengan kenikmatan, padahal islam mengajarkan bahwa kematian adalah gerbang menuju kehidupan yang lebih kekal. Ketika seseorang mengidap penyakit “wahn” baginya anak-anak, keluarga, harta benda, perniagaan, isteri atau suami adalah kenikmatan yang tak ingin ia tinggalkan, hal ini berbeda dengan kehidupan para sahabat yang dididik langsung oleh Nabi. Bagaimana cita-cita akhirat begitu merasuk kedalam relung jiwa mereka yang penuh dengan buncahan semangat memberikan amalan terbaik untuk menuju surganya Allah meski dengan mengorbankan segala yang mereka miliki.
Kita kenal Sumayyah sebagai wanita pertama dalam islam yang syahid menjaga keimanannya. Sumayyah menjadikan kematian sebagai gerbang menuju keridhoan Allah, karena beliau yakin bahwa bagi seorang muslim dunia ibarat penjara, penuh penderitaan dibandingkan kehidupan di Akhirat yang penuh dengan kenikmatan hakiki. Makanya untuk menjemputnya beliau rela untuk disiksa sedemikian rupa hingga nabi pun tak kuasa melihat bentuk siksaan yang begitu kejam, yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.
Atau kita kenal seorang sahabat yang bernama Handzalah dikala menjadi pengantin baru dan baru saja mencubu isterinya, datanglah seruan dari nabi untuk berperang. Maka dengan tergopoh Handzalah pamit kepada sang isteri untuk menjadi pasukan terdepan dengan musuh. Tanpa pikir panjang dia menembus barisan kaum muslim sehingga jarak dia dengan musuh hanya sejengkal, kemudian dengan semangat yang membara beliau menumpas para musuh Allah, tetapi takdir berkata lain Allah menjadikannya syahid di medan perang. Dan Nabi berkata kepada para sahabat bahwa Handzalah mati dimandikan oleh malaikat, seketika sahabat bertanya kepada nabi perihal tersebut karena orang mati syahid tidak wajib untuk dimandikan. Kemudian nabi berkata bahwa Handzalah mati dalam keadaan junub hingga ia dimandikan malaikat. Sebuah contoh orang yang memahami hakikat kenikmatan dunia hanya sekian persen saja dari kehidupan akhirat.
Atau kita kenal Al-Khansa ibu dari para syuhada, beliau menjadi salah satu kisah epic sejarah islam karena ketegaran beliau melepas semua anaknya demi menjaga agamanya dari penindasan kaum kafir Quraisy dan pendidikan beliau kepada anak-anaknya yang menjadikan akhirat sebagai pintu menuju kenikmatan hakikilah membuat semangat mereka membara. Sebuah pengorbanan yang pantas didapatkan untuk mendapatkan Surganya Allah.
Maka pantaslah kita menjadi seorang asing atau musafir bagi dunia, dimana psikologis seorang musafir adalah mereka tidak akan berhenti lama dengan tempat peristirahatannya. Hanya sekedar mencari bekal atau berteduh untuk menempuh perjalanan kembali yang lebih jauh. Seperti halnya kisah seorang saudara yang merantau di daerah Jakarta, di daerah rantauannya dia hanya bertempat tinggal di sebuah gubuk kecil yang cukup untuk dihuni oleh satu orang. Makan seadanya dan gaya hidup yang serba sederhana. Tetapi begitu terperangahnya ketika kita lihat dia di kampung, rumahnya tak seperti di Jakarta. Yang terlihat hanya keindahan dan penuh dengan fasilitas yang memadai. Begitulah hakikat seorang musafir atau perantau. Dia tak akan menjadikan daerah rantauannya sebagai tujuan, makanya tak perlu ia membangun rumah besar tetapi apa yang dia miliki lebih diperuntukkan membangun kehidupan yang baik di kampung tempat dia kembali.
Begitu juga dengan kita sebagai seorang muslim, kampung tempat kita kembali adalah Akhirat maka kejarlah kehidupan akhirat dengan menanam sebanyak-banyaknya benih di dunia. Bukankah perniagaan Allah lebih menguntungkan dibandingkan perniagaan dengan manusia? Bukankah kenikmatan dunia ibarat tetesan air yang menepel pada jari ketika jari dicelupkan kedalam samudera? Jadilah pengembara yang mencita-citakan surga. Semoga kita termasuk didalamnya. Amiin
Wassalam.