Jihad Abad Ke-21


Dewasa ini seringkali orang tua lebih memberikan ijin kepada anaknya untuk nonton konser dibandingkan mengikuti kajian islam. Alasannya simple, mereka takut kalau anaknya menjadi teroris atau ekstrimis seperti halnya pemberitaan di televise. Sebuah ironi yang menjadi kemakluman bersama. Nampaknya orang tua lebih suka jika anaknya menjadi seorang hedonis dibanding menjadi seorang alim dalam agama, nongkrong menghabiskan waktu tak apa tetapi untuk mengkaji Al-Qur’an jadi nestapa.


Ketika ditelisik lebih mendalam lagi agaknya ada sebuah pemikiran yang salah karena pengaruh media. Orang yang berjuang teguh menegakkan agamanya disangka seorang ekstrimis, dengan dalih sendang berjihad. Jihad sendiri dimaknai sebagai peperangan melawan kaum kafir. Padahal kalau kita tengok lagi kata jihad secara bahasa berarti berusaha dengan sungguh-sungguh. Sedangkan yang dimaksud dengan berperang melawan kaum kafir dalam Al-Qur’an dinamakan dengan “Qital”. Perbedaan ini seringkali tidak dilihat oleh kaum orientalis dengan modus untuk membuat umat islam takut untuk menegakkan agamanya, bahkan tidak percaya diri dengan ajaran agamanya. Karena takut di cap sebagai seorang ekstrimis.

Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
(QS. Ash-Shaf : 10-11)

Dalam ayat tersebut jelas bahwa jihad itu bukan hanya sebatas mengorbankan jiwa saja melainkan bisa dengan mengorbankan harta benda. Ketika seorang muslim pemahamannya salah akan membentuk sikap yang salah, sehingga nilai keislaman tidak merasuk kedalam jiwa pemiliknya.


Jika jihad pada zaman rasulullah dengan menggunakan pedang, maka jihad abad ke-21 dengan pemikiran dan kekuasaan. Mengapa? Karena bukan zamannya lagi penaklukan menggunakan pedang, melainkan penaklukan dengan keindahan lisan dan pemikiran. Seorang mubaligh yang pandai berdialektika dan berorasi lebih bisa meraih simpati daripada seorang jenderal perang penguasa ribuan tentara. Si ahli orasi lebih ditakuti dibandingkan si ahli strategi perang, karena islam datang dengan damai, Al-Quran menuntut kemuliaan akal budi dalam memahaminya. Hal ini sekaligus menjadi bukti mukjizat Al-Quran dalam memberikan bukti keagungannya hingga akhir zaman. Mukjizat nabi Sholeh dengan untanya hilang bersama umatnya yang membangkang, Nabi Nuh dengan bahteranya hilang seiring berjalannya waktu, Laut merah yang terbelah menjadi mukjizat nabi Musa usai setelah tenggelamnya Firaun dan para pengikutnya. Sedangkan Al-Quran hingga detik ini tetap eksis sebagai mukjizat dan tidak ada seorangpun mampu membuat satu ayat yang menyamai keagungannya.


Kembali ke makna jihad, seorang muslim wajib hukumnya berjihad apapun latar belakang profesinya. Seorang penulis berjihad dengan mata penanya untuk menyebarkan tulisan inspiratif, seorang dokter berjihad dengan kepandaiannya menyembuhkan pasien, seorang pengusaha berjihad dengan hartanya untuk menyelesaikan masalah umat, maupun seorang mubaligh berjihad dengan kefasihannya dalam agama untuk menyadarkan umat.


Konon ada sebuah percakapan imajinatif antara malaikat Ridwan dengan orang-orang yang akan masuk surga. Mereka berebutan untuk memasuki surga terlebih dahulu, diantaranya ada seorang penulis, seorang dokter, seorang mubaligh dan seorang pengusaha. Diantara mereka, siapakah orang yang terlebih dahulu masuk kedalam surga?

Malaikat Ridwan menanyai satu persatu diantara mereka, datanglah kesempatan malaikat bertanya kepada seorang penulis. “Hai penulis, apa gerangan yang menyebabkan aku memberikan kesempatan kepadamu untuk memasuki surga terlebih dahulu?”

“Aku ketika didunia adalah orang yang sering menulis artikel inspiratif kepada pembaca, dengan harapan mereka bisa tersadar dan kembali kejalan Allah melalui perantara tulisanku. Maka perkenankan saya memasuki surga terlebih dahulu malaikat Ridwan.” Jawab si Penulis.

“Tunggu, engkau tak boleh masuk sebelum aku selesai menanyai semua orang yang ada didepanku.” Malaikat menjawab dengan nada sedikit tinggi.



“Bagaimana dengan engkau Si Dokter? Apa hal yang menyebabkan aku memberikan kesempatan kepadamu untuk memasuki surga terlebih dahulu?” Tanya malaikat Ridwan penasaran.

“Aku adalah seorang dokter yang tidak pernah melihat siapa pasien yang datang kepadaku, baik dia miskin maupun kaya aku memberikan pelayanan terbaikku, aku tak mengharapkan kekayaan dari profesiku karena aku hanya ingin keridhoan Allah semata. Bahkan jika ia seorang miskin lagi fakir maka tak ku pungut biaya sepersenpun demi kesembuhannya.” Pungkas si Dokter.



Belum selesei kekaguman malaikat kepada si dokter, malaikatpun bertanya kepada si Mubaligh. “Hai mubaligh, engkau seorang yang alim lagi fasih dalam bertutur kata. Apa hal yang menyebabkan aku memberikan kesempatan kepadamu untuk memasuki surga terlebih dahulu?”

Dengan fasih si Mubaligh menjawab , “Aku di dunia senantiasa mengajarkan kebaikan, memberikan pembelajaran kepada murid-murid yang datang kepadaku tanpa mengharapkan imbalan. Dan Alhamdulillah sudah ada ratusan orang yang kembali ke jalan Allah melalui perantara lisanku.”



“Sedangkan engkau Si Pengusaha, apa hal yang menyebabkan aku memberikan kesempatan kepadamu untuk memasuki surga terlebih dahulu?”

Dengan nada yang santun Si Pengusaha menjawab, “Aku adalah orang yang jujur dalam berdagang, tidak mengambil praktik riba karena takut akan ancaman Allah. Dengan harta yang kumiliki, aku telah membangun percetakan untuk menerbitkan buku-buku inspiratif, dengan hartaku aku membangun rumah sakit yang megah untuk kalangan miskin, dan aku juga membangun Pondok pesantren sebagai tempat belajar bagi santri-santri yang akan menjadi lentera ditengah masyarakat yang rusak.”

Dengan wajah tersenyum, malaikat membukakan pintu Surga kepada Si Pengusaha. Dia lebih dahulu dimasukkan kedalam surga dibandingkan dengan yang lain lantaran amalannya.



Dari cerita diatas bisa kita lihat, bahwa kualitas amalan jauh lebih penting dibandingkan latar belakang profesi seseorang. Seorang pengusaha bisa jadi lebih ber-jihad dibandingkan seorang mubaligh yang tiap hari berceramah. Karena dengan amalannya, si Pengusaha lebih banyak memberikan manfaat terhadap pembenahan masyarakat kearah yang lebih baik lagi.



Sehingga, jika kita kembali ke pembahasan awal kesimpulannya adalah jangan sampai karena tak memahami islam dengan utuh maka kita melarang seseorang belajar agama. Karena dengan agama seseorang akan menemukan misi penciptaannya di dunia, yakni menjadi orang yang memberikan manfaat kepada masyarakat luas sebagai khalifah fil ard.

Jadilah Pengembara Maka Kau Kan Bahagia





“Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat”

(HR. Bukhari)


Sebuah hadis yang patut kita telisik lebih dalam bagaimana makna yang terkandung didalamnya, supaya menjadi ibrah bagi kita umat islam yang mengakui bahwa nabi Muhammad adalah suri tauladan kita.


Nabi Muhammad memberikan pengajaran kepada umatnya untuk menjadi seorang asing ketika di dunia yang penuh dengan gegap gempita kenikmatan semu. Nabi tahu benar bagaimana sifat manusia yang cenderung untuk memuaskan seluruh hawa nafsunya baik dengan cara yang halal maupun haram. Makanya sedari awal nabi memberikan early warning kepada umatnya untuk menjadi seorang perantau di dunia supaya terbebas dari bahaya sifat “wahn”, yaitu cinta dunia dan takut mati.

Seseorang yang cinta dunia pastilah akan takut pada kematian karena menganggap bahwa kematian adalah gerbang pemisah antara dia dengan kenikmatan, padahal islam mengajarkan bahwa kematian adalah gerbang menuju kehidupan yang lebih kekal. Ketika seseorang mengidap penyakit “wahn” baginya anak-anak, keluarga, harta benda, perniagaan, isteri atau suami adalah kenikmatan yang tak ingin ia tinggalkan, hal ini berbeda dengan kehidupan para sahabat yang dididik langsung oleh Nabi. Bagaimana cita-cita akhirat begitu merasuk kedalam relung jiwa mereka yang penuh dengan buncahan semangat memberikan amalan terbaik untuk menuju surganya Allah meski dengan mengorbankan segala yang mereka miliki.

Kita kenal Sumayyah sebagai wanita pertama dalam islam yang syahid menjaga keimanannya. Sumayyah menjadikan kematian sebagai gerbang menuju keridhoan Allah, karena beliau yakin bahwa bagi seorang muslim dunia ibarat penjara, penuh penderitaan dibandingkan kehidupan di Akhirat yang penuh dengan kenikmatan hakiki. Makanya untuk menjemputnya beliau rela untuk disiksa sedemikian rupa hingga nabi pun tak kuasa melihat bentuk siksaan yang begitu kejam, yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.

Atau kita kenal seorang sahabat yang bernama Handzalah dikala menjadi pengantin baru dan baru saja mencubu isterinya, datanglah seruan dari nabi untuk berperang. Maka dengan tergopoh Handzalah pamit kepada sang isteri untuk menjadi pasukan terdepan dengan musuh. Tanpa pikir panjang dia menembus barisan kaum muslim sehingga jarak dia dengan musuh hanya sejengkal, kemudian dengan semangat yang membara beliau menumpas para musuh Allah, tetapi takdir berkata lain Allah menjadikannya syahid di medan perang. Dan Nabi berkata kepada para sahabat bahwa Handzalah mati dimandikan oleh malaikat, seketika sahabat bertanya kepada nabi perihal tersebut karena orang mati syahid tidak wajib untuk dimandikan. Kemudian nabi berkata bahwa Handzalah mati dalam keadaan junub hingga ia dimandikan malaikat. Sebuah contoh orang yang memahami hakikat kenikmatan dunia hanya sekian persen saja dari kehidupan akhirat.

Atau kita kenal Al-Khansa ibu dari para syuhada, beliau menjadi salah satu kisah epic sejarah islam karena ketegaran beliau melepas semua anaknya demi menjaga agamanya dari penindasan kaum kafir Quraisy dan pendidikan beliau kepada anak-anaknya yang menjadikan akhirat sebagai pintu menuju kenikmatan hakikilah membuat semangat mereka membara. Sebuah pengorbanan yang pantas didapatkan untuk mendapatkan Surganya Allah.

Maka pantaslah kita menjadi seorang asing atau musafir bagi dunia, dimana psikologis seorang musafir adalah mereka tidak akan berhenti lama dengan tempat peristirahatannya. Hanya sekedar mencari bekal atau berteduh untuk menempuh perjalanan kembali yang lebih jauh. Seperti halnya kisah seorang saudara yang merantau di daerah Jakarta, di daerah rantauannya dia hanya bertempat tinggal di sebuah gubuk kecil yang cukup untuk dihuni oleh satu orang. Makan seadanya dan gaya hidup yang serba sederhana. Tetapi begitu terperangahnya ketika kita lihat dia di kampung, rumahnya tak seperti di Jakarta. Yang terlihat hanya keindahan dan penuh dengan fasilitas yang memadai. Begitulah hakikat seorang musafir atau perantau. Dia tak akan menjadikan daerah rantauannya sebagai tujuan, makanya tak perlu ia membangun rumah besar tetapi apa yang dia miliki lebih diperuntukkan membangun kehidupan yang baik di kampung tempat dia kembali.

Begitu juga dengan kita sebagai seorang muslim, kampung tempat kita kembali adalah Akhirat maka kejarlah kehidupan akhirat dengan menanam sebanyak-banyaknya benih di dunia. Bukankah perniagaan Allah lebih menguntungkan dibandingkan perniagaan dengan manusia? Bukankah kenikmatan dunia ibarat tetesan air yang menepel pada jari ketika jari dicelupkan kedalam samudera? Jadilah pengembara yang mencita-citakan surga. Semoga kita termasuk didalamnya. Amiin

Wassalam.

Esensi Waktu







Suatu waktu khalifah Umar bin Abdul Aziz sesampainya di rumah setelah mengurus jenazah kakeknya, Sulaiman bin Abdul Malik, Umar istirahat dengan tidur-tiduran di ranjang. Tak selang berapa lama, Putra Umar, Abdul Malik, datang kepada Umar dan bertanya : “Wahai Amirul mukminin gerangan apakah yang membuat anda berbaring di siang hari bolong seperti ini?”

Umar menjawab, “Aku letih, aku butuh istirahat.”

Abdul Malik berkata, “Pantaskah Anda beristirahat padahal banyak pekerjaan yang harus dikerjakan, masih banyak rakyat yang tertindas yang butuh pertolonganmu.”

Umar menjawab, “Semalam suntuk aku menjaga pamanmu dan itu yang mendorong aku istirahat, nanti setelah shalat Zuhur aku akan mengembalikan hak-hak orang-orang yang tertindas dan teraniaya.”

Sang anak pun bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, siapakah yang menjamin Anda hidup sampai Zuhur. Bagaimana kalau Allah menakdirkan Anda meninggal dunia sekarang?”

Kemudian Umar bangun dan pergi membawa sekarung gandum, lalu mencari orang yang kelaparan.



Begitu besarnya kesadaran Umar bin Abdul Aziz terhadap hakikat waktu, beliau mengetahui benar bahwa waktu yang dia miliki adalah modal untuk mendapatkan bekal menuju Surga. Maka rugilah ketika waktu yang dimilikinya hilang percuma tanpa ada amalan yang bisa memberatkannya di yaumul hisab kelak.

Bahkan saking pentingnya waktu, Allah tak bosan-bosannya mengingatkan kita akan nilai penting waktu. Karena waktu tak akan kembali, waktu juga tak sama, detik ini akan berbeda dengan detik lain sepanjang hidup kita. Maka beruntunglah mereka yang sadar dengan hakikat waktu dan segera berbenah memperbaiki kualitas takwa.

Kawan, Allah maha adil, setiap manusia di bumi diberikan kesempatan yang sama yakni 60 detik sama dengan satu menit, 60 menit sama dengan satu jam, dan 24 jam sama dengan sehari. Baik kita berada di Indonesia, China, Belanda, Amerika maupun Zimbabwe.

Jelas sudah masalahnya bukan berapa jumlah waktunya, tapi bagaimana manusia memanfaatkan waktunya. Ada yang dalam 24 jam mampu mengurusi 200 juta jiwa manusia, memimpin perusahaan raksasa, menyelesaikan tugas berlembar-lembar, bahkan hal yang selainnya. Tetapi ada juga 24 jam yang ada mengurus dirinya saja tak mampu.

Esensi hidup kita adalah waktu yang kita gunakan untuk menabur benih di dunia yang kelak akan kita panen di akherat, jangan sampai diri ini merugi, karena lebih banyak hidup ini di isi dengan gelimang kesia-siaan daripada buncahan produktivitas.

Ingat! Satu kalimat Tanya yang akan di ajukan oleh Allah, Bukan Berapa? Tapi untuk Apa umur yang kita miliki? Kencangnya waktu tak bergantung pada laju jam yang menempel di dinding, atau jam digital pada hape yang kita miliki. Orang yang memiliki umur panjang tapi digunakan untuk hal sia-sia esensinya dia memiliki umur yang pendek, dia tak bisa memanfaatkan fasilitas umur secara efektif dan produktif.



Mari kawan, sejenak merenung, bagaimana selama ini kita memanfaatkan waktu yang ada. Apakah kita selama ini masih banyak menentang perintah Allah ataukah sudah banyak amalan yang kita perbuat. Masih banyakkah kita membuang waktu dengan hal yang tidak produktif ataukah sudah banyak karya yang sudah kita ciptakan untuk masyarakat? Muhammad Al-Fatih menaklukan Konstantinopel umur 22 tahun, kita? Ibnu Sina diangkat menjadi tabib berumur 16 tahun, kita?

Sebagai penutup cukuplah kita merenungi apa yang disampaikan Allah dalam surat Al-Asr,

“Demi masa. Sungguh manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.”

Salah Kaprah Orang Berlebaran!


Tak terasa ramadhan akan meninggalkan kita, betapa beruntungnya kita yang masih diberikan kesempatan untuk bertemu dengan bulan yang mulia ini. Semoga seluruh amalan kita selama bulan ramadhan diterima oleh Allah dan memberikan impact kepada kita menjadi seorang hamba yang lebih bertakwa.

Karena Allah menilai kesuksesan orang yang berpuasa ketika seorang hamba menjadi pribadi yang lebih bertakwa, yakni menjauhi segala larangan-Nya dan menjalankan segala perintah-Nya. Sebagaimana telah dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah ayat 183 ;

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa

Dengan adanya standar tersebut harusnya kita bisa mencoba untuk menghayati kembali apakah kita sudah tergolong kedalam hambanya yang benar-benar menjalankan ibadah ramadhan dengan benar ataukah hanya sekedar gugur kewajiban. Apakah kita sudah menjadi hamba yang bertakwa ataukah malah lebih banyak menjalankan larangan-Nya dan menjauhi segala perintah-Nya. Sekelumit pertanyaan yang mestinya harus kita renungi bersama untuk mencapai derajat takwa.

Semoga Allah senantiasa melindungi kita dari bahaya kekurangan ilmu dan bahaya mengikuti hawa nafsu yang irasional. Amiin

Ibadah puasa juga harus diiringi dengan niat dan perilaku yang mencerminkan pribadi takwa, termasuk menghindari perkara-perkara yang dapat merusak amalan puasa. Terlebih pada detik-detik menjelang berakhirnya ramadhan. Terkadang sangat menggelitik banyak orang - orang di hari terakhir ramadhan sibuk membeli pakaian baru dibandingkan membaharui pakaian takwanya, orang-orang lebih sibuk mencari diskon ke Mall dibandingkan sibuk mencari diskon dosa dari Allah SWT, orang-orang lebih suka mengeluarkan hartanya untuk konsumerisme dibandingkan beramal di jalan Allah.

Padahal kemenangan ramadhan adalah mereka yang berhasil mengendalikan hawa nafsu yang irasional, jika kita masih suka menuruti hawa nafsu dengan mendapat pujian dari orang lain dengan pakaian baru kita apakah itu yang dikenal sebagai hamba yang menang?
Apakah kita tidak sadar ketika pulang ke kampung dengan membawa kemewahan menjadi kecemburuan bagi mereka yang tak punya uang untuk membeli pakaian baru atau sekedar membeli sandal baru?

Lebaran bukan hanya untuk para pemenang kawan, bukan mereka yang masih suka menuruti hawa nafsu. Maka benar kata Rasulullah bahwa musuh terbesar manusia adalah hawa nafsunya. Bukan kita mematikan hawa nafsu karena itu adalah sebuah fitrah manusia, tetapi kita diminta untuk mengendalikan hawa nafsu untuk menjadi orang yang lebih bertakwa.

Selamat bagi calon pemenang, isilah hari-hari terakhir ramadhanmu dengan meningkatan ibadah di jalan Allah. In shaa Allah derajat takwa akan bersanding kepada kita sehingga Allah memberikan ijin memasuki surga-Nya di hari pembalasan kelak. Amiin ya rabbal alamin